Kamis, 28 Februari 2013

Bersepeda menyusuri selokan bersejarah - part 1

Bosen berwisata yang itu-itu aja? Atau malah bosen karena tiap hari hidup dan dibesarkan dikota?
Bersepeda menyusuri selokan yang penuh sejarah akan membuang rasa bosan akan objek wisata di kota Yogyakarta.

Dan bila anda dibesarkan sebagai "orang kota", menyusuri Selokan Mataram Yogyakarta bisa menjadi petualangan kecil yang menyenangkan untuk menikmati pemandangan sawah nan hijau, penggembala, off road dan menyeberangi Kali Krasak sambil memanggul sepeda.

Memulai petualangan . . .
 
Ada masa penjajahan Jepang, banyak rakyat Indonesia dikirim ke berbagai daerah untuk dijadikan tenaga kerja paksa atau romusha. Mereka dipaksa untuk membangun beragam infrastruktur yang mendukung kepentingan militer Jepang melawan Sekutu. Rakyat yang menjadi romusha sangat menderita, tidak diberi makan yang cukup dan diperlakukan dengan kejam sehingga banyak yang tewas.
 
Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX prihatin dan berusaha menghindarkan warga Yogyakarta dari kewajiban menjadi romusha. Beliau lalu memerintahkan rakyatnya membangun saluran irigasi sepanjang 30 km, dari Sungai Progo ke Sungai Opak, dan menolak rakyatnya dijadikan romusha dengan alasan tenaga mereka masih dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek itu. Saluran yang semula bernama Kanal Yoshiro itu sekarang dikenal sebagai Selokan Mataram dan hingga kini masih menjalankan fungsinya untuk mengairi belasan ribu hektar sawah.


Menyusuri saluran irigasi bersejarah ini dengan menggunakan sepeda motor atau MTB (sepeda gunung) menjanjikan pengalaman yang menyenangkan bila dilakukan pada bulan Oktober - Mei, karena bulan Juni - September biasanya selokan ini dikeringkan untuk memutus siklus hama.

Start yang sempurna adalah dari perempatan MM UGM di Jalan Kaliurang. Dari sini, ada dua pilihan rute. Pertama, menyusuri Selokan Mataram ke arah barat hingga bertemu hulunya di Sungai Progo, Dusun Ancol, Kabupaten Magelang. Kedua, menyusuri Selokan Mataram ke arah timur hingga berakhir di Sungai Opak, Kalasan. Memulai perjalanan pada pagi hari, kurang lebih pukul 06.00 WIB, adalah yang paling menyenangkan sebab udara masih sejuk, sinar matahari belum terik dan banyak aktivitas masyarakat agraris yang bisa dilihat.


Kearah barat . . .

Bila memilih berjalan ke arah barat, setelah melewati Ring Road barat pemandangan sawah nan hijau akan segera menyapa. Jangan lupa untuk menoleh sebentar ke arah timur ketika matahari mulai tinggi. Matahari tampak bersinar cerah di atas sawah hijau dan pohon kelapa, bayangannya tampak di permukaan air selokan yang mengalir tenang. Sore hari, kadang-kadang beberapa mahasiswa pecinta alam berlatih mendayung kano di sini.
Setelah berjalan sejauh 16 kilometer, anda akan memasuki Dusun Barongan. Di sini, perjalanan akan serupa dengan off road, sebab anda harus melewati jalan setapak yang becek dan licin, perlu hati-hati agar tak tergelincir. Di kanan-kiri tampak pintu air yang menghubungkan selokan dengan sawah penduduk sekitar. Anda akan menyadari bahwa aliran selokan ini merupakan urat nadi pertanian di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Selama "off road" ini pula, saya sempat merasakan beberapa pengalaman menyenangkan, seperti saat menyaksikan penduduk sekitar sedang angon (menggembala) bebek, kerbau, dan kambing. Setelah melalui perjalanan melelahkan di lintasan tanah sepanjang kurang lebih 1 kilometer, anda akan menemui jalan buntu, terhalang Kali Krasak yang membentuk cerukan sedalam 5 meter. Bila sebelumnya selokan akan melalui jembatan yang melintas di atas sungai, di sini jembatan itu tidak ada. Lalu lewat mana selokan tersebut mengalir? Ternyata turun ke bawah, mengalir lewat saluran di bawah tanah, lalu naik lagi di seberangnya, hebatnya adalah tak ada pompa sama sekali! Hukum fisika bahwa permukaan air akan selalu rata digunakan di sini. Karena tak ada jembatan, anda harus berputar arah melewati jalan aspal bila mengendarai sepeda motor. Bila menggunakan sepeda gunung, anda bisa mencoba pengalaman mengasyikkan melintasi kali yang airnya dangkal ini dengan memanggul sepeda gunung.
Kurang lebih 5 kilometer dari Kali Krasak, anda akan sampai di dusun Ngluwar. Dan anda lagi-lagi akan kebingungan sebab aliran Selokan Mataram seolah tiba-tiba saja menghilang. Tapi jangan dulu menyangka bahwa anda telah sampai di hulu aliran, sebab aliran selokan sebenarnya masih berlanjut, melewati terowongan di bawah desa. Mengagumkan bukan?
Dua kilometer di sebelah barat dusun itu, anda akan sampai di hulu Selokan Mataram, yaitu Sungai Progo. Tampak bendungan kecil, bernama Bendung Karang Talun, membendung aliran Sungai Progo. Air dari bendungan itulah yang kemudian mengalir ke Selokan Mataram. Dari Jembatan Ancol di atas bendungan itu, anda bisa mengagumi derasnya aliran Sungai Progo yang juga digunakan sebagai arena arung jeram. Perjalanan anda tuntas sudah di sini.

























 

Kamis, 21 Februari 2013

Gua Selarong



Gua Selarong

Gua Selarong adalah gua bermuatan sejarah yang berlokasi di di Dukuh Kembangputihan, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta. Gua yang terbentuk di perbukitan batu padas ini digunakan sebagai markas gerilya Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan tentara Hindia Belanda. Pangeran Diponegoro pindah ke gua ini setelah rumahnya di Tegalrejo diserang dan dibakar habis oleh Belanda.
Gua Selarong sekarang merupakan objek wisata dengan dilengkapi area bumi perkemahan. Objek ini berlokasi sekitar 14 km arah selatan Kota Yogyakarta, di puncak bukit yang ditumbuhi banyak pohon. Di sekitar Gua Selarong juga sedang dikaji pengembangan objek agrowisata dengan klengkeng sebagai daya tarik utama.

Perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong

Pada tanggal 21 Juli 1825, pasukan Belanda pimpinan asisten Residen Chevallier mengepung Dalem Pangeran Diponegoro di Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akan Tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri dan menuju ke Selarong. Di tempat tersebut secara diam-diam telah dipersiapkan untuk dijadikan markas besar. Selarong sendiri merupakan desa strategis yang terletak di kaki bukit kapur, berjarak sekitar enam pal (sekitar 9 Km) dari kota Yogyakarta. Setelah Peristiwa di Tegalrejo sampai ke Kraton, banyak kaum bangsawan yang meninggalkan istana dan bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Mereka adalah anak cucu dari Sultan Hamengkubuwono I, II dan III yang berjumlah tidak kurang dari 77 orang dan ditambah pengikutnya.
Dengan demikian pada akhir juli 1825. di Selarong telah berkumpul bangsawan-bangsawan yang nantinya menjadi panglima dalam pasukan Pangeran Diponegoron. Mereka adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Blitar, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, Ngabei Mangunharjo dan Pangeran Surenglogo.
Pangeran Diponegoro juga memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyudo dan Honggowikromo untuk memobilisasi pendulduk desa sekitar Selarong dan bersiap melakukan perang. Di tempat ini juga disusun strategi dan langkah-langkah untuk memastikan sasaran yang akan djserang. Pada tanggal 31 Juli 1825 Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi menulis surat kepada masyarakat Kedu agar bersiap melakukan perang. Dalam surat itu beliau mengatakan bahwa sudah saatnya Kedu kembali ke wilayah Kasultanan Yogyakarta setelah dirampas oleh Belanda.
Di Selarong dibentuk beberapa batalyon yang dipimpin oleh Ing Ngabei Joyokusumo, Pangeran Prabu Wiromenggolo dan Sentot Prawirodirja dengan pakaian dan atribut yang berbeda. Sepanjang bulan Juli 1825 hampir seluruh pinggiran kota diduduki oleh pasukan Diponegoro. Markas besar Pangeran Diponegoro di Selarong dipimpin oleh lima serangkai yang terdiri dari Pangeran Diponegoro sebagai ketua markas, Pangeran Mangkubumi merupakan anggota tertua sebagai penasehat dan pengurus rumah tangga, Pangeran Angabei Jayakusuma sebagai panglima pengatur siasat dan penasehat di medan perang Alibasah Sentot Prawirodirjo yang sejsk kecil di didik di Istana dan setelah perang Diponegoro bergabung dengan Pangeran Diponergoro dan Kyai Maja sebagau penasehat rohani pasukan Pangeran Diponegoro.
Pada tanggal 7 Agustus 1825 Pasukan Diponegoro dengan kekuatan sekitar 6.000 orang menyerbu Negara Yogyakarta dan berhasil menguasainya. Meski demikian Pangeran Diponegoro tidak menduduki kota Yogyakarta dan Sri Sultan HB V berhasil diselamatkan dan diamankan di Benteng Vredeburg dengan pengawalan ketat dari Kraton.
Peristiwa 21 Juli 1825 di Yogyakarta sampai kepada Komisaris Jenderal van Der Capellen pada tanggal 24 Juli 1825. Selanjutnya diputuskan untuk mengangkat Lentan Jenderal H.M. De Kock sebagai komisaris pemerintah untuk Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang diberikan hak istimewa di bidang militer maupun sipil.
Berbagai upaya dilakukan oleh Jenderal De Kock antara lainmenulis surat kepada P. Diponegoro yang isinya mengajak P.Diponegoro untuk berdamai. Tetapi ajakan berunding tersebut ditolak secara tegas oleh Pangeran Diponegoro. Dengan penolakan tersebut maka Jenderal De Kock memerintahkan untuk menyerbu Selarong. Akan tetapi ketika pasukan Belanda tiba di Selarong, desa itu sepi karena pasukan Pangeran Diponegoro sudah berpencar di berbagai arah. Menurut babad, selanjutnya Pangeran Diponegoro mendirikan markas di Dekso yang berlangsung kurang lebih 10 bulan dari tanggal 4 November 1825 sampai dengan 4 Agustus 1826.
Selama bermarkas di Selarong pasukan Belanda telah melakukan penyerangan tiga kali Serangan pertama pada tanggal 25 Juli 1825 yang dipimpin oleh Kapten Bouwes. Serangan ini merupakan aksi perlawanan Pangeran Diponegoro di Logorok dekat Pisangan Yogyakarta, yang mengakibatkan 215 pasukan Belanda menyerah. Serangan kedua pada bulan September di bawah pimpinan Mayor Sellwinj dan Letnan Kolonel Achenbac dan serangan ketiga tanggal 4 November 1825. Setiap pasukan Belanda menyerang Selarong maka Pasukan Pangeran Diponegoro menghilang di goa-goa sekitar Selarong.

Senin, 18 Februari 2013

Liburanku, Indonesiaku

Liburanku begitu berharga dengan sedikit waktu yang tersisihkan dari sisa-sisa jam kerja yang mulai memadat. Namun ku lakukan semua perjalanan yang akan mengantarkanku keatas awan kembali. Keatas tanah tertinggi, diatas awang-awang yang ditumbuhi oleh tumbuhan abadi. Tanah yang makmur dan udara yang sejuk yang membawa kita melayang kekhayangan.

Indonesia, adalah tanah airku yang begitu mempesona dengan panorama alam yang penuh pesona. Takkan pernah dia jauh dari hatiku walau mungkin raga ini jauh ada diluar sana, jauh dari nusantara. Selama raga ini masih kuat berdiri dan jiwa ini belum rapuh, aku kan selalu menjunjung tinggi tanah airku, yang telah membesarkan aku.

Selamanya Indonesia, karena begitu banyak tempat pariwisata yang dapat dinikmati, panorama alam yang begitu mempesona dari Sabang hingga Merauke. Dari panorama laut hingga pegunungan, semuanya begitu mempesona, memanjakan mata dan kalbu bagi yang bisa menikmatinya.

Selamanya Indonesia, karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan mencintai keanekaragaman Indonesia . . .

Senin, 11 Februari 2013

From Indonesia With Love - Starting Hiking On Merbabu National Park


Merbabu, merupakan salah satu gunung di Jawa Tengah yang menjadi tujuan utama para petualang alam bebas. Untuk sampai ke Merbabu dapat ditemput dari jalur Magelang atau Salatiga menuju Kopeng. Bagi yang naik ojek dapat mengambil jalur ojek (jalan Batur) atau perempatan Umbul Songo bagi yang berjalan kaki.

Di Thekelan semua pendaki wajib melapor ke Pos Base Campe Pendaftaran dan mengisi formulir pendataan, kemudian memulai perjalanan menuju Camp 1 Pending untuk mengisi kantong air untuk perbekalan pendakian. Di camp ini air yang diambil dapat langsung diminum tanpa dipanaskan terlebih dahulu karena sumber air ini terdapat diketinggian 1800an mdpl.

to be continue . . .

Kamis, 07 Februari 2013

From Indonesia With Love - Yogyakarta

Yogyakarta (or Jogjakarta) has been known as The Neverending Asia. Many say that a single visit to Jogja is never enough.

The list of things you can experience in Jogja may seem overwhelming, ranging from natural splendors, art and tradition and heritages to culinary adventure. This is why Jogja is the second most visited destination in Indonesia, next to Bali.
In addition, there are about 70,000 handicraft industries and other facilities like various accommodations and transportations, numerous food services, travel agents, and proper tourism support, and also tour security team support called as Policemen of Tour, locally known as  Bhayangkara Wisata.

Jogjakarta's geographical condition also supports the variety of existing tourism objects. Friendly climate ensures that you can plan your trips more intensely. The beautiful landscape along the way makes your travel to each destination worthwhile.

Among the 31 cultural tourism attractions and 19 natural tourism beauties, try to make sure that you visit Borobudur, Prambanan Temple and silver handicraft in Kotagede.

You can also try Selarong Cave, Pandansimo beach, Gajah Mountain, or Vredeburg Fort. To understand the history of the sultanate, try visiting the Kraton of Yogyakarta and Tamansari.

A visit to Jogja is never complete without experiencing Malioboro street. Rows of shops and outlets sell many kinds of souvenirs you can bring back home. If you want to test your negotiation skills you can try The Haggling Game with the street vendors. All's fair in love and shopping.

History

Jogjakarta stretches from the slopes of mighty Mount Merapi in the north to the wave-swept beaches of the powerful Indian Ocean to the south. It was the mighty Javanese Empire of Mataram, Ngayogyakarto Hadiningrat. Jogjakarta (Jogja) came into being in 1755, when a land dispute split the power of Mataram into the Sultanates of Yogyakarta and Surakarta (Solo). Prince Mangkubumi built Kraton of Yogyakarta and created one of the most powerful Javanese states ever.

Entry

Domestic and International flights service Yogyakarta. Tugu train station close to Malioboro Street has several inexpensive express trains from and to Java overland everyday. Good express service from Jakarta and Surabaya. Buses also operate regulary to Borobudur and Prambanan Temples. Bicycles and motorcycles can be hired using a nominal fee.

People & Culture

The people of Jogjakarta are known for their hospitality and good manner. If you show proper respect, you're welcome in any part of the city.
Many Indonesians consider Jogjakarta a good place to retire because of the serenity. Some say that time flow slower in Jogja because of it.
Jogjakartans are fond of using compass point for direction, so you need to familiarize yourself with it. If you ask for direction to a native Jogjakartan, instead of saying "Go to the left or right" he or she might say, "Go to west and then north" and so on.

Cuisine

Jogjakarta offers many luscious delicacies. From bakpia cookies, wingko babat, to enting-enting kacang, visitors will be delighted to find there are so many delicious choices here in this area. The food is relatively mild and sweet in flavor. Make sure you single out sambal or chili-based dishes unless you like spicy food.





Rabu, 06 Februari 2013

From Indonesia With Love

              From Indonesia with love. sebuah kosa kata yang simpel namun penuh arti. Menunjuk kepada suatu negara kepulauan yang merdeka pada tahun 1945. Merdeka yang diperjuangkan oleh para pejuang yang menjadikan kepulauan ini bebas dari penjajahan Jepang dan Belanda. 

              Indonesia, siapa yang tak mengenal negara yang banyak keanekaragaman musik, budaya, bahasa, adat istiadat, pariwisata serta keanekaragaman flora dan fauna.

              "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "Hindia" dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau".Jadi, kata Indonesia berarti wilayah Hindia kepulauan, atau kepulauan yang berada di Hindia, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu". Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia-Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost IndiĆ«), atau Hindia (IndiĆ«); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[7]
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.Adolf Bastian dari Universitas Berlin memasyarakatkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau pada tahun 1913.